Lembaran daun pandan terhampar dipojok teras rumah seorang Mbah Jainap.
Daun itu seperti sedang dijemur. Untuk apakah?..... ternyata
juluran-juluran pandan itu akan disulap menjadi tikar. Daun pandan yang
baru dipetik itu dijemur dulu agar lemas, setelah itu dilakukan proses
pembersihan dengan memisahkan duri dan lidi dari bagian daun. Kemudian
dengan menggunakan bambu, daun pandan yang telah bersih dikerok agar
halus. Bahkan kalau mau lebih bagus lagi biasanya direbus dulu, dikerok
lagi dan diberi pewarna. Nah setelah itu, barulah dilakukan aktivitas
penganyaman.
Mbah
Jainap, seorang warga Desa Katemas adalah pengrajin tikar pandan.
Sebenarnya, tidak hanya keluarga Mbah Jainap, namun hampir seluruh
masyarakat tempat Mbah Jainap tinggal memiliki usaha yang sama, yaitu
memproduksi tikar pandan. Mengayam tikar dari pandan seakan menjadi
keahlian yang turun temurun diwariskan oleh masyarakat setempat, mulai
dari bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, Bu Lurah, Bu RT, dan siapapun di
desa ini memiliki keahlian untuk menganyam tikar. Kendati demikian, bagi
mayoritas warga, pekerjaan ini dianggap sebagai pekerjaan sampingan
saja.
Mbah
Jainap sendiri yang menekuni usaha menganyam dengan ditemani oleh
menantu dan cucu yang tinggal serumah, saat tiba musim menggarap sawah,
beliau beserta penduduk Desa Katemas akan turun ke sawah dan
meninggalkan aktivitas menganyam. Di waktu-waktu senggang saja menganyam
akan dilakukan.
Mbah Jainap sendiri mengaku, dalam sehari tiap orang rata-rata menghasilkan satu buah tikar saja. Jadi, hasil produksi tikar tidak akan berubah. Ketika ditanya apakah ada keinginan untuk memproduksi lebih banyak, dengan spontan Mbah Jainap menjawab dengan nada rendah, “Kalau dipaksa buat banyak ya percuma, karena tidak ada yang beli. Dan tikar ini juga usia simpannya hanya setahun.” Ternyata sedikitnya hasil produksi tidak membuat ‘kuwalahan’. Pasalnya,peminat tikar pandan kini semakin menurun. Hampir tiap pengrajin memiliki 3 sampai 5 lembar tikar yang ditak laku-laku. Permintaan tikar pandan sangat jarang. “orang beli tikar hanya saat mau sholat ied, ada bencana alam, atau ada orang meninggal untuk membungkus mayat….. Selain itu sepi,” Papar Mbah Jainab. Hal ini disinyalir karena banyaknya alat yang serupa fungsinya dengan tikar pandan dijual dimana-mana, seperti karpet dengan modifikasi dan motif yang tampak lebih menawan dengan alat produksi yang canggih. Masalah hargapun cukup ringan, super murah untuk hasil keuletan sebuah karya. Rata-rata masyarakat Katemas menjual langsung dengan kisaran harga jual Rp. 10.000,00 hingga Rp. 12.000,00. Kalau ada yang membeli untuk dipasarkan di kota, maka sampai kota harga bisa menjadi dua kali lipatnya.
Mbah Jainap sendiri mengaku, dalam sehari tiap orang rata-rata menghasilkan satu buah tikar saja. Jadi, hasil produksi tikar tidak akan berubah. Ketika ditanya apakah ada keinginan untuk memproduksi lebih banyak, dengan spontan Mbah Jainap menjawab dengan nada rendah, “Kalau dipaksa buat banyak ya percuma, karena tidak ada yang beli. Dan tikar ini juga usia simpannya hanya setahun.” Ternyata sedikitnya hasil produksi tidak membuat ‘kuwalahan’. Pasalnya,peminat tikar pandan kini semakin menurun. Hampir tiap pengrajin memiliki 3 sampai 5 lembar tikar yang ditak laku-laku. Permintaan tikar pandan sangat jarang. “orang beli tikar hanya saat mau sholat ied, ada bencana alam, atau ada orang meninggal untuk membungkus mayat….. Selain itu sepi,” Papar Mbah Jainab. Hal ini disinyalir karena banyaknya alat yang serupa fungsinya dengan tikar pandan dijual dimana-mana, seperti karpet dengan modifikasi dan motif yang tampak lebih menawan dengan alat produksi yang canggih. Masalah hargapun cukup ringan, super murah untuk hasil keuletan sebuah karya. Rata-rata masyarakat Katemas menjual langsung dengan kisaran harga jual Rp. 10.000,00 hingga Rp. 12.000,00. Kalau ada yang membeli untuk dipasarkan di kota, maka sampai kota harga bisa menjadi dua kali lipatnya.
Begitulah….. Nampak lagi satu wajah kreatifitas masyarakat yang terpotret dari secuil petak Kota Jombang. Permadani Pandan masih tetap ada ditengah maraknya permadani-permadani yang diproduksi dengan teknologi modern. Mungkin inilah, buah keuletan tangan masyarakat kita yang mungkin kini tidak banyak tersoroti akibat adanya kemilau buah dari canggihnya IPTEK era sekarang. Semoga tetap hidup kreatifitas masyarakat Jombang. Semangat Berkarya untuk Jombang
Sumber : http://adadijombang.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar